Pages

Thursday, November 1, 2012

Mengupas Kulit Bawang Spiritual

Mengupas Kulit Bawang Spiritual


PENDAHULUAN.

Artikel ini adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Pak Rizki yang telah mengirimi saya sebuah artikel tentang Reiki Tummo. Kemudian Pak Rizki menanyakan dua hal yaitu:
Pertama, bagaimana pandangan saya terhadap Reiki Tummo, dan Kedua, apakah dengan dibukakan (attunement) cakra mahkota kita, kita bisa lebih nyambung ke Alloh?

Dalam pembahasan pertanyaan ini, saya akan mencoba untuk memberikan pandangan saya terhadap Reiki Tummo ini hanya sebatas melihat filosopi yang mendasari praktek Reiki ini secara umum. Saya TIDAK akan memberikan pandangan tentang salah atau benarnya Reiki Tummo itu. Saya juga akan mencoba mengupasnya dengan membandingkannya dengan praktek-praktek sejenis yang ada dalam masyarakat, baik yang dipraktekkan dalam komunitas umum maupun komunitas yang mengaitkannya dengan praktek-praktek agama tertentu. Praktek-praktek tersebut sudah sangat umum diistilahkan orang dengan proses ”Laku Spiritual”.

Nah…., dalam membahas laku spiritual ini, saya akan mencoba menganalogikannya dengan sebuah proses yang sangat sederhana yaitu proses mengupas kulit bawang. Analogi ini saya pakai karena pada sekilas pandang, saya seperti melihat ada kesamaan-kesamaan tertentu dalam berbagai proses laku spiritual itu. Tak ubahnya saat kita melihat kulit bawang. Kulit bawang itu tatkala dikelupasi lapis perlapis, yang ada ya….kulit-kulit bawang juga. Karena yang akan saya bahas adalah tentang laku spiritual, maka artikel ini saya namakan ”Mengupas Kulit Bawang Spiritualitas”.

Saya akan membahas lapisan kulit spiritutal itu lapis demi lapis sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya. Kalau kita coba kelupasi kulit bawang spiritual itu lapis demi lapis sampai habis, lalu yang tersisa apa….???.

KULIT OLAH DIRI…

Reiki Tummo adalah sekian banyak dari istilah-istilah dan nama tentang fenomena Reiki yang berkembang di berbagai penjuru dunia. Pada daerah-daerah lain pun muncul pula nama-nama lain dengan sedikit variasi disana-sini. Varian dari India disebut dengan Yoga. Varian di Cina disebut dengan nama yang lebih beragam, misalnya Taichi, Tao, Kung Fu (dengan ditambah kemampuan bela diri). Varian di Philipina dikenal dengan nama Prana. Di Indonesia malah variannya lebih banyak lagi, misalnya Tenaga Dalam, Tenaga Sakti, Tenaga Dasar, Energi Murni. Varian Di Amerika dan Eropa dikenal dengan istilah fenomena “PSYCHIC”. Bahkan dalam praktek agama-agama dunia, fenomena ini secara sepintas terlihat hampir sama. Dalam agama Yahudi ada, dalam agama Nasrani ada, dalam agama Islam pun sepintas juga terlihat seperti ada (seperti yang dipertontonkan oleh para sufi, ustad-ustad tertentu). Note: nanti akan kita bahas bagaimana dengan Rasulullah ??…!.

Pada tatanan MANUSIA, apa-apa yang diolah dalam praktek Reiki dan praktek-praktek sejenisnya seperti yang saya sebutkan di atas, semuanya adalah NYARIS SAMA. Yang diolah adalah NAFS (DIRI) manusia. Diri manusia yang ukurannya hanya segini-gininya ini, ternyata menyimpan rahasia yang sama dahsyatnya dengan alam semesta raya ini. Pantas saja dalam agama Islam Allah memberi tahukan dalam surat Al Jaatsiyah ayat 3-4 bahwa:
Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman.

Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini,
Ayat di atas dengan lantang menggugah manusia, terutama orang yang beriman, agar mau mengamati dan menyelidiki potensi-potensi dan system apa yang ada pada dirinya sendiri seperti juga kita dimotivasi untuk mengamati apa-apa yang ada di langit dan di bumi, serta pada binatang yang melata. Dengan pengamatan itu diharapkan umat manusia menjadi bertambah-tambah keimanannya kepada Allah.

Ya…, pada diri manusia ternyata ada sistem yang kerumitan dan potensi yang ada di dalamnya sungguh tidak kalah dengan apa yang ada pada alam semesta. Boleh dikatakan diri manusia itu adalah laksana alam semesta (makro kosmos) dalam ukuran mini (mikro kosmos).
Berbilang zaman berlalu, manusia dari berbagai bangsa dan agama sudah mencoba pencarian yang panjang tentang siapa dirinya yang sebenarnya, dan tak lupa menggali potensi-potensi apa yang bisa mucul dari dalam dirinya itu. Dalam perjalanan pengenalan diri itu, terkuaklah misteri demi misteri keajaiban tubuh kita. Fenomena Cakra, Kundalini, Energi Psikokinetik, hanyalah beberapa saja dari sekian banyak rahasia-rahasia yang telah dibukakan oleh Allah buat kita. Fenomena Cakra serta Kundalini beserta segenap turunannya adalah sebuah suasana universal yang bisa dilatih dan dipraktekkan oleh siapa saja dan agama apa saja. Dan hasilnya sangat tergantung pada seberapa keras kita berlatih dan seberapa kuat kita bisa memfokuskan arah fikiran kita kepada cakra-cakra yang diyakini oleh pemrakteknya berada pada titik-titik tubuh yang berada disepanjang tulang belakang manusia, mulai dari bawah sampai ke ujung kepala (ubun-ubun). Dalam hal ini saya tidak akan membahas dimana cakra-cakra itu berada dan bagaimana cara pengolahannya sehingga memunculkan potensi-potensi yang ”boleh jadi” melebihi apa-apa yang dimiliki oleh orang yang tidak melatihnya.

Pengolahan cakra-cakra itu sebenarnya adalah sebuah proses sederhana saja, yaitu dengan mengarahkan fikiran kita pada titik-titik tertentu yang diyakini oleh pemrakteknya sebagai simpul-simpul energi atau getaran untuk beberapa waktu lamanya. Kalau simpul-simpul itu bisa diaktifkan, maka manusia ternyata bisa mengolah dan memanfaatkan getaran yang muncul itu untuk berbagai keperluan. Penggunaan getaran ini sangatlah luas dan beragam sekali. Misalnya, mulai dari tujuan untuk pengobatan sampai dengan kemampuan untuk memunculkan kekuatan dan kemampuan yang sekilas kelihatannya seperti sesuatu yang irrasional. Sebutlah apa saja yang pernah dipublikasikan orang tentang kemampuan irrasional itu, seperti pengalaman tentang adanya tubuh astral, tubuh eterik, pengalaman keluar dari tubuh (OBE=Out of Body Experience) atau meraga sukma, atau fenomena tenaga-tenaga tak kasat mata seperti yang digunakan dalam silat, kung fu, aikido, dsb., maka semua itu hanyalah sebuah konsekwensi logis saja atas berhasilnya sang manusia meningkatkan kesadarannya dari hanya sekedar getaran (vibrasi) di tingkat ketubuhan menjadi kesadaran getaran ditingkat energi-energi yang lebih halus.

Kalau tubuh ini kita perhatikan walau dengan mengunakan kesadaran ilmu fisika biasa saja, maka dengan mudah dapat kita sadari bahwa tubuh kita ini adalah kumpulan atom-atom dari berbagai unsur yang saling terikat satu sama lainnya. Misalnya atom dari unsur oksigen, hidrogen, nitrogen, dan unsur-unsur lainnya. Interaksi dari unsur-unsur pembangun tubuh tersebut akan menimbulkan pancaran energi, baik itu berupa getaran-getaran maupun cahaya-cahaya dengan panjang gelombang dari bisa terlihat oleh mata sampai dengan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Nah…, untuk mampu merasakan dan melihat fenomena-fenomena getaran dan cahaya tadi itu seseorang harus mampu meningkatkan kesadarannya dari sekedar hanya kesadaran tubuh ketingkat kesadaran getaran-getaran.

Misalnya, untuk melihat sekedar adanya lingkaran cahaya yang berpendar disekitar jari-jari kita, kita tinggal memandang jari kita dengan tidak fokus kearah jari itu. Fokuskanlah pandangan mata kita melampaui jari itu. Jangan pandang jari itu. Pandanglah ruangan yang melampaui tangan kita itu beberapa cm didepan. Tidak berapa lama kita akan melihat pendaran cahaya yang menyelimuti jari kita tersebut. Tanaman pun, kalau dilihat dengan cara yang sama seperti diatas, akan terlihat juga seperti diliputi oleh cahaya yang berpendar yang meliputi daun-daunnya. Orang lalu menyebut pendaran cahaya ini dengan nama AURA. Atau ada juga yang menamakannya dengan tubuh astral, tubuh eterik, dan sebagainya, yang tentu saja dengan karakter dan getaran yang berbeda pula. 

Kemampuan memandang pendaran cahaya ini dapat dilatih dan ditingkatkan untuk dapat memandang pendaran cahaya dari tubuh manusia secara utuh. Bahkan kemampuan itu dapat pula ditingkatkan untuk mengetahui tentang berbeda-beda cahaya yang muncul untuk berbagai emosi dan rasa, yang berbeda pula, bahkan dapat pula digunakan untuk mengetahui mana-mana bagian tubuh yang sehat maupun yang sakit.

Dulu-dulu (sebelum ikut patrap), di wilayah beladiri, saya juga pernah melatih bagaimana cara untuk menggunakan kemahiran tentang getaran ini untuk mengenali benda-benda dengan mata tertutup. Dan juga getaran itu dapat pula digunakan untuk mematahkan benda keras dengan hanya menyentuh beda tersebut dengan lembut tanpa bertenaga. Benda keras itu patah hanya dengan cara ”membayangkan” kita sedang mengirimkan kepada benda itu getaran gelombang transversal dan longitudinal secara bergantian beberapa saat lamanya. Lalu gelombang itu kita bayangkan pula mampu mempengaruhi posisi atom-atom pada benda keras tersebut ke posisi yang terlemah. Lalu dengan tanpa menggunakan kekuatan yang besar seperti yang digunakan para kuli panggul barang, maka kita akan sanggup mematahkan benda itu. Jadi dalam hal ini yang digunakan adalah afirmasi (penegasan) dengan menggunakan kekuatan fikiran yang terfokus dan keyakinan yang tinggi akan keberhasilan atas apa-apa yang kita inginkan.

Kemudian di wilayah praktek sebuah tarekat (juga sebelum saya ikut patrap), saya juga pernah mengalami apa yang disebut orang dengan fenomena OBE (out of body experience) saat saya melakukan SULUK di penghujung Ramadhan tahun 2000. Ketika itu, dengan mudah rasanya saya bisa seperti pulang ke rumah, datang ke Mekkah, datang ke kuburan Nabi di Madinah, bahkan pada saat itu rasanya kening saya ke cium oleh Rasulullah. Mursyid saya ketika itu, begitu saya ceritakan tentang hal ini, beliau malah balik menciumi kening saya. Saya hanya bisa terheran-heran saja saat itu. Akan tetapi semua itu ternyata juga hanyalah sensasi-sensasi yang muncul saat kita mampu mengarahan fikiran dan keinginan kita menuju ke tempat yang kita inginkan, atau berjalan ke tempat-tempat yang ceritanya dan bayangannya pernah masuk ke dalam otak kita.

Sungguh banyak sekali fenomena yang bisa digali dan diolah tentang kemampuan yang diberikan oleh ALLAH terhadap NAFS manusia. Tidak terbatas. Karena semua datangnya adalah dari yang punya ilmu yang Maha TIDAK TERBATAS, yaitu Allah. Jadi…, alangkah angkuh dan jumawanya kita jika ada diantara kita yang sampai tidak mengakui tentang keberadaan ilmu-ilmu dan fenomena-fenomena ”aneh” di atas yang hanya setitik kecil saja dari lautan ilmu Tuhan yang tak terhingga banyaknya.

DARI KULIT KE KULIT …

Untuk reiki, tarekat, dan kemampuan-kemampuan supranatural lain, umumnya terdapat titik kesamaan yang sangat dekat dalam hal cara pengolahan dan pelatihannya. Yaitu mengolahnya dengan menggunakan fikiran dan gerakan fisik tertentu terhadap titik-titik yang berada disepanjang tulang belakang dan sekitarnya, mulai dari ujung ekor sampai ke ubun-ubun. Kosa kata dalam bahasa umumnya adalah titik-titik CAKRA (baik cakra MAYOR yang berada diwilayah tulang belakang, tembus muka dan belakang, maupun cakra MINOR yang berada disekitar wilayah tulang belakang) yang punya getaran tertentu untuk masing-masing titiknya. Pada beberapa praktek tarekat, titik-titik itu dinamakan orang dengan istilah LATHAIF, akan tetapi titik-titik yang diambil adalah yang berada diwilayah ulu hati (dada, yang diyakini banyak orang sebagai tempat beradanya HATI atau QALB), bergerak ke atas sampai ke kening, dan pada tahap akhirnya adalah seluruh tubuh itu sendiri.

Titik-titik OBJEK OLAH PIKIR ini di bersihkan, digetarkan, dan di olah dengan cara mengarahkan fikiran (berkonsentrasi) kepada titik-titik CAKRA atau LATHAIF tersebut. Proses ini biasanya distimulasi dan diperkuat dengan menambahkan simbol-simbol, bunyi-bunyian atau suara-suara tertentu dengan frekuensi yang monoton pula. Pada reiki, simbol objek fikir itu biasanya adalah dalam bentuk garis melingkar-lingkar dan warna-warni dengan pola tertentu. Setiap pola itu diyakini oleh pemrakteknya mempunyai vibrasi tertentu pula. Adapula kemudian yang ditambah dengan berbagai teknik penahanan dan pengeluaran nafas yang diatur sedemikian rupa. Ada juga yang menambahnya dengan gerakkan-gerakan tubuh, kaki, dan tangan dengan pola tertentu. Dan ada pula yang mengikut sertakan suara-suara dan irama monoton tertentu dengan durasi yang cukup lama. Pada praktek YOGA ataupun meditasi-meditasi lainnya, yang dilakukan orang juga sama saja (walau dengan kadar dan teknik yang berbeda-beda). Semua punya titik objek fikir, simbol-simbol, gerakan-gerakan, dan bentuk-bentuk posisi tubuh tertentu yang gunanya tak lain adalah sebagai ”SARANA” bagi pemrakteknya untuk mengolah arah fikirnya.

MAU DIKELUPASI APANYA LAGI …?.

Di dalam tarekat pun, objek untuk praktek mengolah arah fikir ini nyaris sama saja. Pada salah satu tarekat, misalnya, titik objek fikir itu mirip sekali, kalau tidak mau dikatakan sama, dengan titik-titik objek fikir yang dipakai dalam praktek reiki, taichi, dan yoga. Objek fikir di dalam tarekat ini disebut dengan istilah LATHAIF. Misalnya, ada lathaif Qalbi (yang terletak dekat jantung, 2 jari di bawah susu kiri, 2 jari lagi ke arah tengah dada), lathaif Roh (yang terletak 2 jari di bawah susu kanan, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif Sirri (yang terletak 2 jari di atas susu kiri, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif Khafi (yang terletak 2 jari di atas susu kanan, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif Akhfa (yang berada di tengah dada), lathaif Nafsun Natiqah (yang berada di antara 2 alis), lathaif Kullu Jasad (yang berada 2 jari di atas pusar, tembus menuju ubun-ubun, lantas meliputi seluruh tubuh). Dan secara kasat mata pun, beberapa lokasi lathaif ini sama persis dengan posisi-posisi cakra yang ada dalam reiki, yoga, dan meditasi. Dan ternyata memang masing-masing posisi lathaif atau cakra itu mempunyai sensasi sendiri-sendiri.

Kemudian dalam riyadah rutin, pemrakteknya menambahkan (dalam istilah tarekatnya MENGHUNJAMKAN atau MENUSUKKAN) simbol tunggal, yaitu TULISAN HURUF ALLAH (dalam bahasa Arab) setiap kali kita ”singgah” ke lathaif tertentu. Menusukkan simbol huruf ALLAH itu harus diulang-ulang dengan jumlah yang berbeda bagi setiap lathaif. Hunjaman kalimat Allah di lathaif-lathaif itu kemudian diafirmasi (diperkuat) lagi dengan tambahan ucapan Allah atau Laa ilaha illallaah dengan irama suara yang cepat dan monoton.

SEUNTAI BENANG MERAH…!

Berangkat dari pembahasan di atas, maka sebuah benang merah sepertinya mulai dapat kita tarik, bahwa pada dasarnya praktek reiki, taichi, yoga, meditasi, dzikir di tarekat atau rumah dzikir tertentu, latihan tenaga dalam, dan latihan-latihan kesaktian lainnya sedikit banyaknya ada kesamaannya, kalau tidak mau dikatakan serupa banget. Pada semua itu ada ”sesuatu (titik)” yang dipakai sebagai objek tempat mengarahkan fikiran, ada simbol-simbol sebagai penambah kemampuan berkonsentrasi, ada suara-suara monoton yang dipakai, dan ada pula bentuk-bentuk tubuh tertentu yang dipakai selama proses pengolahan jiwa sang pemrakteknya.
Karena yang diolah dalam reiki, taichi, yoga, meditasi, dan tarekat tertentu adalah tubuh-tubuh (NAFS) juga, maka hasilnyapun nyaris sama. Misalnya, seseorang yang telah mempraktekkannya beberapa waktu lamanya, maka hampir semua praktikannya mengalami sensasi dapat merasakan getaran-getaran tertentu. Dan ternyata getaran itu, dengan teknik pengarahan fikiran tertentu, bisa dipakai untuk berbagai hal. Seperti untuk pengobatan, untuk kesaktian, untuk melanglang buana di alam-alam penuh getaran, sensasi-sensasi, rupa-rupa dan pandangan-pandangan tidak kasat mata lainnya.

Lalu semua fenomena itu tadi, kemudian dianggap sebagai fenomena spiritual. Maka jadilah makna spiritual itu terpangkas dan mengecil. Dan pada tatanan kehidupan praktis ”spiritualis” Hindu, Budha, Islam, pemraktek yoga, reiki, meditasi, tenaga dalam (kesaktian) menjadi sulit untuk dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Hampir) SAMA SAJA. Ya…, KULITNYA SAMA SAJA !!!. Bedanya, paling-paling bisa dilihat dalam hal tata cara berpakaian, berbicara, praktek-praktek ibadah dan simbol-simbol yang dipakai oleh mereka masing-masing.

Ada yang menarik untuk diamati pada tatanan spiritualitas seperti ini, bahwa hampir selalu para pemrakteknya terlihat lebih lembut, lebih sabar, lebih tenang, dan lebih cool dari orang kebanyakan. Seringkali pemrakteknya berkata: ”Saya ikut praktek ini… itu…!. Dalam sebulan saja saya bisa merasakan perubahan yang besar dalam diri saya. Saya menjadi lebih tenang, lebih sabar, lebih damai, lebih sehat…, dan blaaa…, blaaaa”. Yakin benar para pemrakteknya dalam menceritakan hasil latihannya itu. Na lho kok sama hasilnya…?. Realitas macam apa ini sebenarnya….???. Kalau dilihat ciri-cirinya di atas, misalnya, pemrakteknya bisa merasa lebih tenang, damai, luas, bahagia, cool, sehat, tidak banyak merasakan permasalahan walau pun dia sedang dirundung masalah, maka realitasnya kok sama dengan suasana yang disebutkan dalam Al Qur’an yaitu suasana JIWA YANG TENANG (NAFSUL MUTHMAINNAH)….
KULIT NAFSUL MUTHMAINNAH (JIWA, DIRI YANG TENANG)…

Dalam istilah agama Islam, ada sebuah sifat jiwa (diri) yang disebut dengan JIWA YANG TENANG (Nafsul Muthmainnah). CIRI-CIRI Nafsul Muthmainnah ini hanya sederhana saja, yaitu pada Nafs ini tiada lagi rasa kekhawatiran dan tiada kesedihan padanya (la khaufun ‘alaihim wala hum yah zanun). Siapa saja dapat merasakannya. Realitas suasana diri yang bersifat universal ini kalau dibahasakan secara populer adalah, bahwa pada diri itu, otaknya tidak lagi dihantam oleh gelombang badai fikirannya, dadanya tidak lagi dihantam oleh galaunya perasaannya. Ya…, otak sang diri ini sudah tidak lagi terkotak-kotak dalam berbagai persepsi yang sangat beragam dari orang ke orang, dan dada sang diri itu juga sudah tidak bergolak lagi dengan berbagai amukan perasaan baik perasaan senang maupun perasaan susah.

Ada diantara kita yang bisa sampai pada suasana otak dan dada yang tenang ini saja sebenarnya sudah sangat bagus sekali. Karena banyak juga diantara kita yang mengaku-ngaku sudah beragama, tapi fikiran dan dada kita masih dipenuhi oleh badai fikiran dan amukan rasa sehingga kita sibuk sendiri dengan apa-apa yang kita fikirkan dan rasakan itu.

Karena suasana jiwa yang tenang itu adalah sebuah sunatullah, atau bisa juga disebut sebagai hukum positif yang diturunkan oleh Sang Pencipta kepada seluruh umat manusia, maka semua manusia juga akan bisa mendapatkannya. Ya…, SEMUA manusia, tak tergantung pada agama dan suku bangsa, akan mampu meraih suasana otak dan dada yang tenang itu. Karena manusia ini diciptakan Tuhan memang beragam, maka cara untuk mendapatkan ketenangan otak dan dada itu juga bisa bermacam-macam. Boleh dikatakan cara untuk mendapatkan jiwa yang tenang itu akan sama banyaknya dengan jumlah manusia itu sendiri. Tak terbatas.

Salah satu cara yang dianggap orang dapat menciptakan sensasi rasa tenang itu adalah dengan cara meyakini, bahkan sampai benar-benar mengalami, apa yang dinamakan oleh pemraktek reiki, taichi, yoga, dan meditasi lainnya itu dengan proses terbukanya CAKRA MAHKOTA, begitu juga CAKRA DADA. Proses terbukanya cakra-cakra utama (mayor) ini ternyata memunculkan fenomena-fenomena, dimana pemrakteknya seperti mampu merasakan dirinya lepas dari sensasi ketubuhannya dan kemudian berubah menjadi sensasi alam semesta. Terbukanya Cakra Mahkota, diyakini orang bisa menimbulkan sensasi keluasan otak yang akan membuat otak itu menjadi tenang. Seperti juga halnya sensasi keluasan dan kelapangan dada yang dipercaya orang dapat muncul dengan telah bersihnya Cakra Dada.

Pasal apakah dengan terbukanya Cakra Mahkota akan mempermudah orang untuk nyambung ke Allah, seperti pertanyaan Pak Rizki, saya tidak dapat menjawabnya. Karena tentang Allah ini setiap agama bahkan setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri. Tentang Allah ini, setiap orang mempunyai hubungan yang sangat pribadi sekali dengan-Nya. Sangat pribadi sekali. Hal ini akan saya kupas lebih pada uraian “Kulit Sang Aku Diri”.

Akan tetapi, Cakra Mahkota yang sudah terbuka boleh jadi memang dapat mempercepat hilangnya badai fikiran di otak kita. Begitu juga dengan terbukanya Cakra Dada yang akan mengurangi amukan berbagai perasaan. Boleh jadi pula orang yang telah mendapatkan keluasan dan ketenangan fikiran dan dada itu dapat lebih mudah untuk menjadi manusia universal.

Dari sekian banyak metoda itu, lalu ada beberapa metoda yang menonjol. Ya…, wajar saja !!!. Karena di atas awan memang masih ada awan. Beberapa metoda yang menonjol itu lalu dipasarkan oleh pemrakteknya ke penjuru dunia. Dengan berbagai nama. Setiap nama itu mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri. Siapa tahu ada yang mau nyobain juga. Nah…, metoda-metoda yang sudah kita bahas di atas tadi adalah beberapa contoh saja diantara metoda-metoda yang ada.

Bahkan dalam agama Islam, selain praktek tarekat di atas, masih banyak metoda-metoda lainnya yang bisa dipakai. Misalnya puasa, zakat, sedekah, haji, yang tujuannya adalah untuk mengolah diri (tadzkiyatunnafs) agar bisa menjadi tenang. Shalat pun ternyata tujuannya adalah untuk membawa peshalat kepada suasana jiwa yang tenang itu, sehingga sang jiwa itu bisa tercegah dari badai fikiran dan rasa, yang dalam istilah agamanya disebut sebagai: “si peshalat bisa tercegah dari perbuatan yang keji dan mungkar”.

Jadi dalam semua praktek-praktek agama (agama apa saja) maupun praktek pengolahan dan penyucian diri yang begitu beragamnya itu, pada tatanan DIRI (NAFS) itu sendiri akan mempunyai dampak yang hampir sama. Semuanya menawarkan cara-cara untuk mencapai ketenangan diri, yang realitasnya adalah lepasnya sang diri dari jebakan badai fikiran di otaknya dan amukan perasaan di dadanya. Ya…, semua masih berada di kulit nafsul muthmainnah saja sebenarnya. Jadi barangkali wajar saja kalau ada yang orang memilih agama tertentu (bahkan sampai ada yang mau bertukar agama) atau memilih praktek pengolahan diri tertentu karena dia mampu merasakan MANFAAT dari apa-apa yang dia praktekkan dalam agama atau pengolahan dirinya itu.

Tapi kemudian muncul lagi pertanyaan. Setelah diri itu tenang, lalu diri itu mau diapain…???. Dan buat apa agama ini sebenarnya…???.

KULIT SANG AKU DIRI…!!

Pada jiwa yang tenang (universal) itu ternyata tetap saja masih “ada yang tahu”, yang sadar, bahwa diri itu sudah berada dalam wilayah ketenangan, bahwa diri itu sangat luas. Diri itu juga tahu bahwa yang melihat itu ternyata bukan mata, tetapi diri yang luas itu sendiri. Diri itu juga sadar bahwa yang mendengar itu ternyata bukan telinga, tetapi diri yang luas itu sendirilah yang mendengar. Jadi pada diri yang universal ini ada bentuk pengakuan, dimana pengakuan ini ternyata adalah rahmat yang diberikan oleh Allah buat semua manusia. Ya…, pada diri yang universal itu ada “aku”, yaitu “sang aku diri”. Dan sang aku diri inilah yang mengaku-ngaku, bahwa aku ini luas tak terbatas, aku ini damai, aku ini melihat, aku ini mendengar, aku ini tahu. Dan puncak dari pengakuan itu adalah: ”aku ini ada (exist) … !!!!”.

Karena merasa ada (exist), maka sang aku diri itu lalu punya keinginan…!.

Keinginan itu yang sangat dominan diantaranya adalah:
1. Sang aku diri “ingin” meninggalkan realitas ketubuhannya (MOKSA).
Pada keinginan seperti ini, sang aku diri ini merasa bahwa tubuhnya ternyata adalah unsur yang penuh dengan suasana yang tidak menyenangkan, sehingga sang aku diri ingin lepas dari tarikan sifat-sifat ketubuhannya. Lalu sang aku diri ini ingin lari dari realitas ketubuhannya menuju, misalnya, ke syurga. Karena sang aku diri ingin lari ke syurga, maka tidak jarang bayangan syurga itu seperti benar-benar datang menghampirinya. Padahal gambaran perjalanan ke syurga itu hanyalah sekedar memori-memori tentang syurga yang telah duluan bersarang di otak sang aku diri itu. Karena gambaran dan realitas tentang syurga itu hanya Allah dan Rasulnya sajalah yang tahu. 

Begitu juga saat sang aku diri “ingin” bertemu dengan para malaikat, para nabi-nabi, dan orang-orang shaleh lainnya, maka semua wujud yang ingin ditemuinya itu akan datang silih berganti menjambanginya. Dan anehnya kualitas pertemuan itu kadangkala lebih hebat dan lebih spektakuler dibandingkan dengan cerita-cerita yang pernah ada.

Tak jarang dari pertemuan-pertemuan imajiner itu sang aku diri merasa bahwa dirinya diangkat oleh malaikat menjadi Nabi baru, menjadi utusan Tuhan yang suci di zamannya. Menjadi orang-orang yang terpilih. Dan kesemuanya itu seperti benar-benar terjadi, REAL, NYATA. Dan untuk lebih meyakinkan lagi, maka anehnya sang aku diri itu seperti mempunyai berbagai kelebihan yang mencengangkan pula.

Lalu sang aku diri itu menjadi sibuk dengan berbagai pandangan-pandangan, kalimat-kalimat, huruf-huruf, suara-suara, dan pertemuan-pertemuan dengan apa yang diinginkan oleh sang aku diri itu tadi. Pertemuan yang seperti apapun dengan siapa pun dan sesulit apapun seperti bisa terjadi dengan mudahnya. Lalu jadilah sang aku diri itu menjadi sangat sibuk….!!!.

2. Sang aku diri “ingin” bertemu dengan Tuhannya…!
Pada tingkat yang lebih rumit, sang aku diri itu ada pula yang “INGIN” bertemu dengan Tuhannya. Lalu sang aku diri itu berusaha pula melakukan perjalanan MI’RAJ (MOKSA) seperti yang disebutkan dalam uraian di atas. Akan tetapi ternyata realitas Tuhan tidak akan pernah bisa diketahui dengan kualitas MI’RAJ seperti itu. Kemana pun sang aku diri itu menghadap, yang ditemukannya tetap saja suasana luas tak terhingga dan tidak ada apa-apanya. KOSONG. Lalu sang aku diri itu merasa bahwa hanya dirinyalah yang ada. Hanya aku yang ada….!!!, dan aku diri itu lalu “merasa” menjadi Aku Yang Hakiki (Allah).

Dengan suasana seperti ini, maka kemudian muncullah pemahaman yang mengarah pada konsep dua menjadi satu. Adakalanya, sang aku diri merasa BERSATU dengan Sang Aku Hakiki (Allah). Adakalanya juga sang aku diri itu merasa bahwa Tuhan beremanasi, menjelma kedalam dirinya. Ya…, “sang aku diri” lalu merasa menjadi “Aku”…!!!, dan mulai ia mengaku : “Aku adalah Dia, Dia adalah Aku; Aku adalah kebenaran…, Ana Allah…, Maha Suci Aku…, dan berbagai pengakuan lainnya”.

Dan pengakuan pada wilayah kulit sang aku diri ini, apalagi bagi yang sampai masuk ke dalam suasana penuh keinginan seperti diatas, ternyata sangatlah menyiksa. Pengakuan di wilayah ini malah bisa melahirkan keangkuhan baru bagi kita, sebuah keangkuhan spiritual.

KEANGKUHAN SPIRITUAL … !!

Pada tatanan spiritual, tidak jarang muncul keangkuhan bagi pemrakteknya yang biasa disebut orang sebagai kaum spiritualis. Dalam agama Islam, keangkuhan spiritual ini diwakili, misalnya, oleh kelompok-kelompok yang berbau tasawuf atau kesufian terhadap kelompok lainnya yang dikelompokkan orang sebagai kelompok syariat (non spiritualis). Kaum spiritualis umumnya sangat meremehkan kaum syariat yang mereka anggap sebagai kumpulan orang-orang yang tingkat pemahaman agamanya hanya terbatas pada penerapan hukum-hukum formal saja. Sehingga adakalanya sang spiritualis itu sangat meremehkan sekali syariat agama yang ada. Syariat dianggap mereka hanya untuk orang-orang yang belum mencapai tingkatan pendakian spiritual.

Bahkan sang spiritualis dengan mudahnya melanggar syariat itu sendiri seperti, dia mabuk-mabukan, suka perempuan lain yang bukan istrinya, dan sebagainya. Karena sang spiritualis sudah merasa bahwa sang aku dirinya adalah kebenaran itu sendiri. Apapun yang dia lakukan, maka dia menganggap bahwa hakekatnya semua itu adalah kebenaran. Dalam istilah umumnya suasana spiritualis seperti ini dinamakan orang dengan wilayah sufi yang sedang HELAF.

Pada taraf tertentu pun, terutama bagi spiritualis yang sudah bisa menjalankan kesadarannya atau fikirannya “menembus alam-alam imajinasi”, tidak jarang pula mereka malah melecehkan syariat itu sendiri. Misalnya mereka tidak lagi melakukan shalat. Karena dengan teknik perjalanan rohaninya, sang spiritualis merasa bahwa dirinya telah shalat di Mekkah, padahal saat itu dia masih berada di daerahnya sendiri. Dan biasanya sang spiritualis itu sebaliknya malah bisa dzikir (wirid) dalam waktu yang sangat lama.

Atau bisa juga sang spiritualis tetap menjalankan shalatnya, akan tetapi adakalanya dia dalam shalatnya itu mengalami apa yang disebutnya sebagai fana, dimana di tengah-tengah shalatnya sang spiritualis mengalami suasana perjalanan (moksa) menemui Tuhan. Sang spiritualis itu terjatuh ketika shalatnya dan keadaannya berada dalam suasana seperti pingsan. Keadaan seperti ini yang diyakini oleh pemrakteknya sebagai fana, dapat berlangsung lama. Dan begitu kesadarannya kembali, maka dianggap selesai pulalah shalatnya. Dan pemrakteknya meyakini bahwa inilah tingkatan shalat yang paling tinggi. Dulu, sewaktu menjalani suluk di sebuah tarekat, saya pernah sebentar terjebak dalam suasana seperti ini. Akan tetapi setelah dikelupasi kulitnya seperti ini, ternyata istilah MI’RAJ dalam pengertian seperti ini sama persis dengan MOKSA dalam istilah agama lain.

Tidak jarang pula ada spiritualis yang hanya asyik masyuk dengan Tuhannya. Sehingga setiap saat sang spiritualis dibuat sibuk dengan keasyik-masyukkannya dengan Tuhan itu. Dan biasanya sang aku diri yang seperti ini bawaannya malas-malasan, tidak mau bekerja, inginnya menyepi terus ke tempat-tempat sunyi. Sehingga fungsi kekhalifahannya sudah nyaris hilang sama sekali. Dia menjadi sibuk dengan dirinya sendiri.

MENGAMBIL PELAJARAN…!!

Pada lapisan kulit sang aku diri ini, semua agama dan praktek-praktek riyadah (olah jiwa) boleh jadi masih berada dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah sang aku diri. Dapatlah dikatakan bahwa kulit terakhir yang tersisa dari usaha mengupas kulit bawang spiritual ini adalah sang aku diri.

Sekarang pertanyaannya adalah:
“Sudahkah spiritual itu berakhir hanya sampai dikulit terakhir ini…??”.
“Apakah spiritual itu berhenti dipengakuan sang aku diri (nafs)… ini ??”.

MELEPAS KULIT TERAKHIR, KETIADAAN, FANA…

Berada dalam jerat pengakuan sang aku diri ini, tanpa disadari, sangatlah menyibukkan dan bahkan sangat menyiksa, bagi orang yang tinggal di wilayah ini. Padahal kalau orang sudah berada dalam kesadaran sang aku diri ini, dimana orang tersebut tidak lagi terpengaruh dengan berbagai ragam dan perbedaan pemikiran, termasuk perbedaan pemahaman keagamaan, maka sebenarnya tinggal SELANGKAH saja lagi tugas sang aku diri itu. Yaitu PENGEMBALIAN keakuan sang aku diri itu kepada Sang Aku Yang Sebenarnya, yaitu Aku Allah. Ya…, sang aku diri tinggal tidak mengaku saja. Runtuhnya pengakuan sang aku diri inilah yang disebut sebagai FANA yang hakiki. Artinya…, dengan kerendahan hati:

• Sang aku diri tidak lagi mengaku luas. Kembalikan luas itu pada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Luas. Biarlah Yang Maha Luas itu sendiri yang mengaku Luas.
• Sang aku diri tidak lagi mengaku melihat. Kembalikan melihat itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Melihat. Biarlah Sang Maha melihat itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa melihat kepada sang diri (nafs).
• Sang aku diri tidak mengaku mendengar. Kembalikan mendengar itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Mendengar. Biarlah Sang Maha Mendengar itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa mendengar kepada sang diri (nafs).
• Sang aku diri tidak mengaku tahu. Kembalikan tahu itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu. Biarlah Sang Maha Tahu itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa tahu melihat kepada sang diri (nafs).

Proses sang aku diri untuk tidak mengaku-ngaku inilah sebenarnya makna lain dari “laa ilaaha illallah”.

Tiada yang luas kecuali Dia Yang Luas.
Tiada yang melihat kecuali Dia Yang Melihat.
Tiada yang mendengar kecuali Dia Yang Mendengar.
Tiada yang tahu kecuali Dia Yang Tahu.
Tiada apa-apa yang ada kecuali Dia Itu Yang Ada.

Posisi TIDAK MENGAKU seperti ini persis sama dengan posisi tumbuh-tumbuhan, posisi gunung-gunung, posisi matahari dan bintang-bintang, posisi langit dan bumi, posisi alam semesta, posisi malaikat. Semuanya tunduk dan patuh kepada Kehendak Tuhan. Semua bersikap sebagai hamba yang selalu RELA, RIDHA menerima kehendak dan kemauan dari Tuhan, dan Tuhan pun rela dan ridha berhendak dan berkemauan kepada sang Hamba itu…
“… Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. (Al Maidah 119, dan dibeberapa ayat lainnya).

Suasana wilayah SALING RIDHA antara Hamba dengan Tuhannya inilah yang bisa disebut sebagai wilayah FANA yang hakiki…!!. Dan FANA seperti ini ternyata ADA SUASANANYA, ADA REALITASNYA. Jadi bukan hanya sebatas kata-kata, kalimat-kalimat dan definisi-definisi dari otak kita.

Disamping itu, proses pengembalian keakuan sang aku diri ini haruslah dilakukan dengan tanpa daya dan tanpa usaha kita sendiri…, karena tiada daya dan upaya, kecuali hanya daya dan upaya dari Tuhan. Pengembalian yang hakiki itu hanya dan hanya bisa kalau kita DITUNTUN oleh Allah sendiri. Karena yang tahu tentang Allah, hanya Allah itu sendiri. Makanya kita selalu berdo’a dalam shalat kita: “Ya Allah…, tuntun saya…”. Dan yang paling penting untuk kita luruskan dalam kita berdo’a ketika minta dituntun oleh Allah adalah: kita jangan sekali-kali mengarahkan do’a itu kepada benda-benda, bentuk-bentuk, bayangan-bayangan, dan persepsi-persepsi apapun.

Kalau pengembalian itu masih dengan daya dan usaha dari sang aku diri, maka namanya sang aku diri itu masih ada, masih eksis. Dan sang aku diri itu akan tersiksa sekali, tatkala do’a kita tidak bersambut, yaaa…, seperti kita-kita sekarang ini. Sehingga apa saja bisa berubah menjadi siksa. Beda pendapat jadi siksa. Beda agama jadi siksa. Beda suku jadi siksa.
Begitu juga kalau pengembalian keakuan sang aku diri itu diarahkan kepada benda-benda atau alam-alam, artinya kita mengarah kepada yang BUKAN pencipta alam semesta sendiri, maka kita akan dibuat sibuk oleh Allah dengan segala sesuatu yang bersifat kealaman itu.

Sebaliknya saat mana sang aku diri itu “bersedia” dibimbing oleh Allah untuk tidak mengaku, dan posisi tidak mengaku itu berhasil dia raih, artinya sang aku diri sudah tiada, FANA, maka yang ada tinggal hanya Yang Ada, Yang WUJUD, yaitu Aku Yang Hakiki (Allah). Aku yang bening dan merdeka, artinya Aku yang berkehendak dengan sendirinya. Pada posisi seperti ini, sang aku diri benar-benar hanyalah menjadi seorang HAMBA yang bersedia:

• Otaknya “dipakai” oleh Allah untuk berkreasi dan menciptakan peradaban bagi umat manusia…,
• Dadanya “dipakai” oleh Allah untuk mengalirkan kehendak dan kemauan-Nya,
• Kelaminnya “dipakai” oleh Allah untuk proses pembiakan umat manusia.
Dan…., lalu kita hanya tinggal menjadi SAKSI SAJA atas perbuatan Allah, atas kehendak Allah, atas kreasi Allah, atas grand design Allah dalam meramaikan dan menata alam ciptaan-Nya ini. Sungguh tidaklah sia-sia semua ini berada di dalam genggaman Allah. Semua diatur-Nya, semua di tata-Nya, semua diurus-Nya tanpa henti. Walau kita tidak mau mengakui peran-Nya sekali pun, Dia tidak peduli. Dia akan Maha Sibuk dengan segala ciptaan-Nya, karena memang segala ciptaan-Nya itu hanya bergantung kepada-Nya … 

Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (Ar Rahman 29).

Dan Rasulullah Muhammad SAW, dengan kualitas diri Beliau seperti ini, dimana “sang aku” Beliau, sudah lenyap, Rasulullah ternyata menghadap kepada Allah dengan tidak membawa apa-apa. Tidak membawa ilmu, tidak membawa amal, tidak membawa ibadah, tidak membawa tahu, tidak membawa melihat, tidak membawa mendengar. Beliau semata-mata hanya sebagai HAMBA yang mau menjadi ALAT ALLAH untuk menjadi RAHMAT bagi alam semesta, rahmat bagi segenap umat manusia. Dan peletakan dasar-dasar bagi fungsi rahmatan lil a’lamin itu itu berhasil Beliau bangun.

Hanya sayang…, bahwa generasi-generasi penerus Beliau ternyata banyak yang tidak amanah…!. Sehingga akibatnya sekarang Islam itu seperti dilecehkan oleh dunia. Kasihan Rasulullah….!!!.
Lalu apakah kita juga mau ikut-ikutan menjadi generasi yang tidak amanah itu…?, Lalu apakah kita juga mau mewariskan ketidakamanahan itu berestafet kepada anak cucu kita…???. Padahal banyak sudah pelajaran yang muncul dihadapan kita atas tidak amanahnya kita dan generasi-generasi terdahulu itu. Begitu nyata akibat buruknya…!!. Lalu kenapa akibat buruk itu tidak kita jadikan sebagai bahan pelajaran buat kita untuk merubahnya kembali menjadi baik…??. Betapa sombongnya kita ini dengan tidak mau menjadi penyambung tangan Rasulullah, penyambung lidah Rasullah.

ADA YANG TIDAK KULIT BAWANG…, ADA …!!!

Setelah kulit terakhir sang aku diri ini dikelupasi, sehingga sang aku diri itu sudah kehilangan keakuannya, TIADA, FANA, maka yang tinggal hanya ADA…!, yang tidak sama dengan kulit bawang. Tidak ada kata seperti lagi pada ADA itu…!. ADA itu TIDAK seperti kulit bawang. Yang lain…, ya… TIADA. Sedangkan ADA itu TIDAK seperti apa-apa… !!. Tapi ADA…!!!!. ADA…!!!.
Maka akupun berseru kepada Sang ADA itu:
Subhanaka….!!!. Subhanaka…!!!, Subhanaka…!!.
Maha Suci Engkau…!!!. Maha Suci Engkau…!!!. Maha Suci Engkau…!!!.
Dan Sang Ada itu pun menjawab panggilanku:
Subhanii….!!!. Subhanii…!!!, Subhanii…!!.
Maha Suci Aku …!!!. Maha Suci Aku…!!!. Maha Suci Aku…!!!.
Dan akupun menegaskan lagi:
Laa ilaaha illaa anta..!!!, Laa ilaaha illaa anta…!!!. Laa ilaaha illaa anta…!!!.
Tiada Tuhan selain Engkau…, Tiada Tuhan selain Engkau…, Tiada Tuhan selain Engkau…,
Dan Sang Ada itu pun menjawab dengan ketegasan yang amat sangat:
Laa ilaaha illa Ana … !!, Laa ilaaha illa Ana … !!, Laa ilaaha illa Ana … !!
Tiada Tuhan selain Aku…!!!, Tiada Tuhan selain Aku…!!!, Tiada Tuhan Selain Aku…!!!
Lalu aku berlari merunduk-runduk dan mencoba melihat Wajah-Nya:
Laa ilaaha illa Huu … !!, Laa ilaaha illa Huu … !!, Laa ilaaha illa Huu … !!
Tiada Tuhan selain Dia …!!!, Tiada Tuhan selain Dia …!!!, Tiada Tuhan selain Dia …!!!,
Dan Sang Ada itu pun bernyata dihadapanku:
Ana Allah…!!, Ana Allah …!!, Ana Allah …!!,
Aku Tuhan…!!, Aku Allah…!!!. Aku Allah…!!!
Dan akupun menyambutnya dengan kegembiraan:
Huu …!!, Huu …!!, Huu …!!,
Dia…!!, Dia…!!!, Dia…!!!.
Dan Tuhan-ku lalu menyambutku dengan mesra:
Innani Ana…!!, Ana…!!, Ana…!!, Ana…!!,
Ini Aku….!!, Aku….!!, Aku….!!, Aku…………….
Lalu akupun tenggelam dalam pandang memandang dengan Tuhanku …!!!!.
- – - – - – - – !!!, – - – - – - – - – !!!, – - – - – - – - – !!!,
Diam……., Hening…………………………………………….
…………………………………………………………………………
………………………………………………………………….……..

SANG PENANAM BAWANG…

Lalu Tuhanku pun menyusupkan pencerahan-Nya kedalam dadaku:
Sebelum ada apa-apa….,
Yang ada adalah Wajah Tunggal Yang Meliputi,
Waktu itu masih alam AHADIAT, tidak ada rupa tidak ada warna.
Kemudian alam WAHDAT, semua tumbuh dari Yang Tunggal.
Kemudian Allah punya sir (kemauan):
Aku ini perbendarahaan tersembunyi,
kemudian Aku ingin dikenal,
Kemudian Aku menciptakan makhluk-Ku,
Dengan Allah-lah mereka mengenal Aku. (hadits qudsi)
Dari sebuah keheningan dan kesenyapan abadi, Aku lalu “mengalirkan” segala kehendak-Ku untuk merenda alam semesta, untuk merangkai kehidupan, untuk menganyam kebudayaan umat manusia. Kemudian Aku bersabda: Kun… Jadilah…!!!, Kun fayakun… maka jadilah…!!!.
Kehendak-Ku itu lalu Aku alirkan kedalam “rumah tempat-Ku berkehendak”, yaitu dada hamba-hamba-Ku, sehingga seakan-akan hamba-Ku itulah yang punya kehendak untuk membangun peradabannya sendiri; sehingga seakan-akan hamba-hamba-Ku itu punya kehendak untuk berkembang biak demi melanjutkan keturunannya. Padahal sebenarnya dari Aku lah semua kehendak dan keinginan itu.

Lalu Ku alirkan kedalam “rumah tempat-Ku mencipta”, yaitu otak hamba-Ku segenap sarana, fasilitas, dan kemampuan untuk mewujudkan kehendak-Ku dalam membangun peradabannya itu. Aku aliri otak hamba-hamba-Ku dengan rencana-rencana, dengan rancangan-rancangan, dengan perhitungan-perhitungan; sehingga seakan-akan hamba-hamba-Ku itu bisa merencana, bisa merancang, bisa mencipta dengan sendirinya; sehingga hamba-hamba-Ku itu seperti bisa membangun, bisa merombak, bisa menanam peradabannya sendiri; sehingga hamba-hamba-Ku itu seperti serba bisa ini dan itu…, serba ramai….!!!. Padahal sebenarnya Aku lah yang membangun semua itu, karena memang Aku adalah Sang Grand Designer kesemuanya itu.

Lalu Ku alirkan juga kedalam “rumah tempat-Ku mengembang biakan manusia”, yaitu kelamin hamba-hamba-Ku, segenap sarana, fasilitas, dan kemampuan untuk mewujudkan kehendak-Ku dalam menjaga keturunan umat manusia. Di rumah pembiakan-Ku itu telah Aku siapkan rasa enak, Aku siapkan libido, Aku siapkan daya, Aku siapkan juga Rahim. Aku telah siapkan semua, sehingga seakan-akan manusia itu seperti bisa berbiak dengan sendirinya. Padahal Aku lah Sang Pembiak itu yang sebenarnya.

Tapi ingatlah wahai hamba-hamba-Ku, Aku ini sangatlah pencemburu. Jadi janganlah kalian wahai hamba-hamba-Ku sibuk dengan kulit-kulit bawang itu. Karena kalau kau sibuk dengan kulit-kulit bawang itu, maka kau akan menjadi hamba dari kulit bawang itu, kau akan dibuat sibuk oleh kulit-kulit bawang itu sehingga kau menjadi lupa kepada-Ku.
Maka…, agar kalian wahai hamba-hamba-Ku tidak sibuk dengan kulit bawang itu, Ku-buatkan rasa perih dimatamu setiap kali kalian mengupasnya, sehingga kalian tidak sanggup lagi memandangnya berlama-lama. Lalu Ku-buatkan pula rasa enak saat kalian memakannya, sehingga kalian ingin buru-buru menggorengnya, dan kemudian menikmatinya. Ya… kalian hanya tinggal menikmati saja RASA kulit bawang itu…!!!.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan kamu dustakan wahai hamba-hamba-Ku …?.
Maka dengan pengajaran seperti apa lagi kalian bisa mengerti wahai hamba-Ku…??.
Jadi lihatlah…, Aku lah Sang Penanam bawang itu, dan Aku pulalah yang menjadikan bawang itu mempunyai kulit berlapis-lapis. Semua itu Ku ciptakan untuk kalian, agar kalian wahai hamba-hamba-Ku bisa memetik pelajaran dari setiap kulit bawang yang ku buat itu, sehingga kau bisa menyadari keberadaan-Ku. Adalah dari Ku kesemuanya itu. Aku lah sumber dari segala sesuatunya. Aku lah sumber keberadaan. Karena Aku lah Sang ADA…..!!. Aku lah Allah…..!!!.

Innanii Ana Allah, Laa ilaaha illaa Ana, Fa’budni, wa aqiimishshalata lidzikri, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (Thahaa 14).
Maka akupun “datang” merunduk-runduk kepada-Nya, akupun bersimpuh dihadapan-Nya, akupun sujud dan menyembah kepada-Nya, dan akupun memuja kepada-Nya:

Subhanallah
Alhamdulillah,
Laa ilaha illallah,
Allahu Akbar,
Laa haulaa wala quwaata illa billahil ‘aliyyil ‘adhiem,
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad…

SANG SPIRITUALIS SEJATI…

Akhirnya sampailah kita pada bagian akhir dari pembahasan tentang perjalanan mengupas kulit bawang spiritual ini. Di penghujung kupasan ini, secara jelas dapat dilihat bahwa sang spiritualis sejati itu ternyata hanyalah manusia-manusia yang berkualitas sebagai HAMBA dihadapan TUHAN. Tidak lebih. Lalu sang hamba itu dengan sadar, rela dan ridha membiarkan otaknya, dadanya, dan kelaminnya dipakai oleh Tuhan untuk mewujudkan kehendak-Nya yang suci dalam membangun peradaban manusia itu sendiri dari zaman ke zaman. Sang Hamba itu tidak membiarkan sedikit pun dorongan-dorongan dari dirinya sendiri (hawa un nafs) untuk mengotori kesucian dan kemurnian kehendak Tuhan yang dialirkan kepadanya.

Jadi…, dari sang spiritualis sejati inilah diharapkan lahir ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi, perdagangan, industri, kesehatan, hukum, seni, budaya, dan sebagainya. Dan kesemuanya itu dibingkai dengan kesadaran berketuhanan.
Sang spiritualis sejati itu ternyata adalah seorang insinyur, seorang dokter, seorang ekonom, seorang ilmuwan, seorang pedagang, seorang seniman, seorang polisi, seorang hakim, seorang presiden, seorang petani, dan setiap orang yang telah mampu membingkai hari-harinya dengan kesadaran kepada Tuhan (dzikrullah).

Ringkasnya adalah, bahwa spiritualis sejati itu adalah seorang hamba Tuhan yang bekerja dan dia sekaligus juga bersedia menjadi alat Tuhan untuk mampu mempekerjakan hamba-hamba Tuhan lainnya. Spiritualis sejati itu adalah seorang hamba Tuhan yang mampu mengkreasi rizki dan sekaligus dia juga bersedia menjadi alat Tuhan untuk mengalirkan rizki kepada hamba-hamba Tuhan lainnya. Dan…, segala macam aktivitasnya itu TIDAK sedikit pun membuat sang spiritualis sejati itu lalai dari mengingat dan menyadari GERAK TUHAN yang mengalir kepadanya. Seorang berkarakter ULUL ALBAB saja sebenarnya. Seperti omongan Tuhan berikut ini:

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. (An Nuur 37)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ULUL ALBAB (orang-orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali Imran 190-191),
Karena, kalau peradaban ini dibangun oleh manusia yang BUKAN berkarakter ULUL ALBAB, maka itu ternyata sangatlah BERBAHAYA sekali …!!!.

SEKEDAR NASEHAT PENDEK…

Alangkah besar siksa Allah jika “TEMPAT SUCI (RUMAH-NYA)” dimana Allah mengalirkan kehendak-Nya untuk berkreasi, menciptakan, dan mengembangbiakkan manusia berikut peradaban yang akan mengiringi manusia itu dari zaman kezaman kita kotori dengan berbagai tindakan yang negatif (fujur) akibat dari dorongan diri (HAWA UN NAFS). Oleh karena itu:
 Tatkala sang aku diri mengotori kelaminnya dengan kehendak percabulan yang datang dari dorongan keinginan sang diri itu sendiri (hawa un nafs), maka berbagai perbuatan cabul pun akan dialirkan-Nya sambung menyambung kepada diri itu, tak terkendalikan. Dan hal itu pasti akan membawa rasa tersiksa bagi sang diri itu sendiri.

 Tatkala sang aku diri mengotori dadanya dengan kehendak dan keinginan yang diharamkam (misalnya dengan memasukkan makanan dan minuman yang haram), maka apa saja juga bisa menimbulkan keinginan marah, benci, iri, dengki, dan perilaku-perilaku negatif (fujur) lainnya. Dan semua kefujuran ini juga ternyata adalah siksa demi siksa yang sangat pedih bagi sang diri itu sendiri.

 Dan tatkala sang aku diri mengotori otaknya dengan fikiran-fikiran negatif dan kotor, maka apa saja bisa diciptakan oleh sang diri itu untuk merusak peradaban. Dan semua kerusakan peradaban itu juga ternyata adalah siksa yang memiriskan hati bagi sang diri itu sendiri.
 Memang, semua pengotoran rumah Allah itu buahnya semata-mata adalah SIKSA….!!!. SIKSA Yang Pedih.

Lalu kenapa kita tidak mau menghormati rumah suci (bait Allah) tempat Allah berkehendak, berkreasi, mencipta, membiakkan diri manusia, dan berikut menganyam peradaban manusia?. Sedangkan malaikat sendiri sampai-sampai tersungkur sujud menghormatinya..?

Ya Allah….. betapa sombongnya kami ini …,
Ya Allah…, betapa tidak amanahnya kami…,
Ampuni kami semua Ya Allah…,
Tuntun kami semua ya Allah…,
Rahmati kami semua ya Allah…,
Demikian…, wallahua’lam…
Selesai Artikel “MENGUPAS KULIT BAWANG SPIRITUALITAS”

DI SALIN DARI LAMAN INI

Wednesday, October 31, 2012

CARA MUDAH KENAL DIRI DAN KENAL ALLAH SWT

ILMU TAUHID : CARA MUDAH KENAL DIRI DAN KENAL ALLAH SWT

Satu daripada Hadis Nabi Muhammad SAW. yang masyhur ialah; 
 
"Siapa yang mengenal dirinya, mengenal ia akan TuhanNya"
 
Ini bererti dengan mematuhi dan memikirkan tentang dirinya dan sifat-sifatnya, manusia itu boleh sampai kepada mengenal Allah. Tetapi oleh kerana banyak juga orang yang memikirkan tentang dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan, maka tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi mengenal ini.Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai pengetahuan atau pegenalan ini.Satu daripada cara itu sangat sulit dan sukar difaham oleh untuk orang-orang biasa, maka cara yang ini tidak usahlah kita terangkan di sini.Yang satu cara lagi adalah seperti berikut: apabila seseorang memikirkan dirinya, dia tahu bahawa ada satu katika apabila ia tidak ada wujud,seperti tersebut dalam Al-Quran: 
 
"Tidakkah terjadi kepada manusia itu iaitu ada satu ketika apabila ia tidak ada apa-apa?" 
 
Selanjutnyaia juga tahu bahawa ia dijadikan diri setitik air yang tidak ada akal, pendengaran, penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya dari sini, teranglah bahawa walaubagaimanapun seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan, tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri atau pun membuat sehelai rambut.Tambahan pula jika ia setitik air, alangkah lemahnya ia? Demikianlah seperti yang kita lihat  dulu, didapatinya dalam dirinya kekuasaan, kebijaksanaan dan cinta Allah terbayang dalam bentuk yang kecil. Jika semua ulamak dalam dunia ini berkumpul dan mereka tidak mati, nescaya mereka tidak dapat mengubah dan membaiki bentuk pembinaan walau satu bahagian pun dari badannya itu. 
 
Misalnya, dalam penggunaan gigi hadapan dan gigi sisi untuk menghancurkan makanan, pembinaan lidah, gelunjur air liur, tengkuk, kerongkong, kita dapatinya penciptaan itu tidak dapat diperbaiki lagi. Begitu juga, fikirkan pula tangan dan jari kita. Jari ada lima dan tidak pula sama panjang, empat daripada jari itu mempunyai tiga persendian, dan ibu jari hanya ada dua persendian, dan lihat pula bagaimana ianya boleh digunakan untuk memegang, mencincang, memukul dan sebagainya. Jelas sekali manusia tidak akan dapat berbuat demikian, betapa pula hendak menambah atau mengurangkan bilangan jari itu dan susunannya mengikut cara dan bentuk yang lain. 
 
Lihat pula makanan, tempat tinggal kita dan sebagainya. Semuanya cukup dikurniakan oleh Allah yang maha kaya. Tahulah kita bahawa rahmat atau Kasih Sayang Allah itu sama dengan Kekuasaan dan KebijaksanaaNya,  seperti firman Allah Subhanahuwa Taala. 
 
"RahmatKu itu lebih besar dari kemurkaanKu"
 
Dan sabda Nabi SAW.,
 
"Allah itu sayang kepada hamba-hambanya lebih dari sayang ibu kepada anaknya"
 
Demikianlah, dari makhluk yang dijadikanNya, manusia dapat tahu tentang wujudnya Allah; dari keajaiban badannya, ia dapat tahu tentang Kekuasaan dan Kebijaksanaanya Allah; dan dari Pengurniaan rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu, nampaklah Cinta Allah kepada hambaNya. Dengan cara ini, mengenal diri sendiri itu menjadi anak kunci kepada pintu untuk mengenal Allah Subhanawa Taala.
 
Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat Allah. Begitu juga cara wujudnya ruh manusia itu memberi kita sedikit pandangan tentang cara wujudnya Allah, iaitu Allah dan ruh itu tidak kelihatan, tidak boleh dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan, tidak tertakluk kepada ruang dan waktu, diluar sempadan kuantiti (bilangan) dan kualiti (kaifiat), dan tidak boleh diperikan dengan bentuk, warna atau saiz.
 
Ada orang merasa payah hendak membentuk satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini kerana ianya tidak termasuk dalam bidang kualiti dan kuantiti, dan sebagainya, tetapi cuba perhatikan betapa susah dan payahnya memberi konsep tentang perasaan kita sehari-hari seperti marah, suka, cinta dan sebagainya. Semua itu adalah konsep fikiran atau tanggapan khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh deria. kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep Deria (tanggapan pancaindera). Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi, maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Allah itu bukanlah dengan derianya. 
 
Allah itu adalah Pemerintah alam semesta raya ini. Dia tidak tertakluk kepada ruang dan waktu, kuantiti dan kualiti, dan menguasai segala makhluknya. Begitu juga ruh itu memerintah badan dan anggotanya. Ia tidak boleh dilihat, tidak boleh dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak tertakluk kepada tempat tertentu. Kerana bagaimana pula sesuatu yang tidak boleh dibagi-bagikan itu diletak ke dalam sesuatu yang boleh dibagi-bagikan atau dipecah-pecahkan? Dari penerangan yang kita baca diatas itu, dapatilah kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.:
 
"Allah jadikan manusia menurut rupanya".
 
Setelah kita mengenal Zat dan Sifat Allah hasil dari pemerhatian dan tafakur kita tentang zat dan sifat Ruh, maka sampai pulalah pengenalan kita kepada cara-cara kerja dan pemerintahan Allah Taala dan bagaimana ia muwakilkan Kuasa-Kuasanya kepada malaikat-malaikat, dan lain-lain, dengan cara memerhati dan bertafakur tentang bagaimana diri kita memerintah alam kecil kita sendiri.
 
Kita ambil satu misalan: Katakanlah seorang manusia hendak menulis nama Allah.
Mula-mulanya kehendak atau keinginan itu terkandung dalam hatinya. Kemudian dibawa ke otak oleh tenaga keruhanian. Maka bentuk perkataan "Allah" itu terdiri dalam bahagian khayalan atau fikiran otak itu. Selepas itu ia mengembara melalui saluran urat saraf, lalu menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan pena. Maka tertulislah nama "Allah" atas kertas, serupa seperti yang ada di dalam otak penulis itu. 
 
Begitu juga apabila Allah Subahanahuwa Taala hendak menjadikan sesuatu perkara, Ia mula-mulanya terzhohir dalam peringkat keruhanian yang disebut didalam Quran sebagai "Al-Arash". Dari situ ia turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat yang di bawahnya yang digelar "Al-Kursi". Kemudian bentuknya terzhohir dalam "Al-Luh Al-Mahfuz". Dari situ dengan perantaraaan tenaga-tenaga yang digelar "Malaikat" terzhohirlah perkara itu dan kelihatanlah di atas bumi ini dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan binatang; yang mewakilkan atau menggambarkan Iradat dan Ilmu Allah. Sebagaimana juga huruf-huruf yang tertulis, yang menggambarkan keinginan dan kemahuan yang terbit dan terkandung dalam hati; dan bentuk itu dalam dalam otak penulis tadi. 
 
Tidak ada orang yang tahu hal Raja melainkan Raja itu sendiri. Allah telah jadikan kita Raja dalam bentuk yang kecil yang memerintah kerajaan yang kecil. Dan ini adalah satu salinan kecil Diri(Zat)Nya dan KerajaanNya. Dalam kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah hatinya; Kursi itu otaknya; Luh Mahfuz itu ruang khazanah khayalan atau fikirannya. Ruh itu tidak bertempat dan tidak boleh dibahagikan dan ia memerintah badanya; sebagaimana Allah memerintah Alam Semester Raya ini. Pendeknya, tiap-tiap orang manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan kecil dan diperintahkan supaya jangan cuai dan lalai mentadbir kerajaan itu.
 
Berkenaan dengan mengenal ciptaan Allah Subhanahuwa Taala, ada banyak darjah pengetahuan. Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah ibarat semut yang merangkak atas sekeping kertas dan memerhatikan huruf-huruf hitam terbentang di atas kertas itu dan merujukkan sebab kepada pena atau qalam itu sahaja. 
 
Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan yang menggerakkan pena itu, iaitu ia tahu bahawa unsur-unsur itu adalah kuasa bintang-bintang, tetapi dia tidak tahu bahawa bintang itu adalah di bawah kuasa Malaikat.
Oleh kerana berbeza-bezanya darjah pandangan manusia itu, maka tentulah timbul pertelingkahan dalam mengesan natijah atau kesan (akibat) kepada sebab. Mereka yang tidak memandang lebih jauh dari sempadan alam nyata ini adalah ibarat orang yang mengganggap hamba abdi yang paling rendah itu sebagai raja. Undang-undang alam nyata itu (Fenomena) itu mestilah tetap. Jika tidak, tidak adalah sains. Walaubagaimanapun, adalah salah besar menganggap hamba itu tuannya.
 
Selagi ada perbezaan ini, segala itulah pertelingkahan akan berterusan. Ini adalah ibarat orang buta yang hendak mengenal gajah. Seseorang memegang kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah itu seperti tiang. Seorang lain memegang gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu bulat yang keras. Seorang lagi memegang telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas. Tiap-tiap seorang mengganggap bahagian-bahagian itu sebagai kaseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum. Kesilapan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap kepada bintang, bulan dan matahari untuk disembah. Lma kelamaan beliau sedar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu, lalu boleh berkata, "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
 
Kita selalu mendengar orang merujuk kepada sebab yang kedua bukan kepada sebab yang pertama dalam hal apa yang digelar sakit. Misalnya; jika seseorang itu tidak lagi cenderung kepada hal-ehwal keduniaan, segala keseronakkan biasa tidak lagi dipedilikannya, dan tidak peduli apa pun, maka doktor mengatakan, "Ini adalah kes penyakit gundah gulana, dan ia perlu sekian-kian ubat atau priskripsi."
 
Ahli fizik akan berkata "Ini adalah kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak dapat dilegakan kecuali udara menjadi lembab."
Ahli nujum akan mengatakan bahawa itu adalah pengaruh bintang-bintang.
"Setakat itulah kebijaksanaanya mereka."
 
 Kata Al-Quran, tidaklah mereka tahu bahawa sebenarnya apa yang terjadi ialah: Allah Subahana Wataala mengambil berat tentang kebajikan orang yang sakit itu dan dengan itu memerintahkan hamba-hambanya seperti bintang-bintang atau unsur-unsur, mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang itu agar ianya berpaling dari dunia ini mengadap kepada Tuhan yang menjadikannya. Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang berupa Ilham; dan ilmu-ilmu yang lain itu jika dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Doktor, Ahli Fizik dan Ahli Nujum itu memang betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing. Tetapi mereka tidak nampak bahawa penyakit itu bolehlah dikatakan sebagai "Tali Cinta" yang dengan tali itu Allah menarik AuliaNya kepadaNya. Berkenaan ini Allah ada berfirman yang bermaksud; 
 
"Aku sakit tetapi engkau tidak melawat Aku".
 
Sakit itu sendiri adalah satu bentuk pengalamaan yang dengannya manusia itu boleh mencapai pengetahuan tentang Allah;
 
sebagaimana firman Allah melalui mulut Rasul-rasulNya; 
 
"Sakit itu sendiri adalah hambaKu dan dikepilkan(disertakan) kepada orang-orang pilihanKu".
 
Dengan ulasan-ulasan yang terdahulu, dapatlah kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang beriman iaitu; 
 
"Maha Suci Allah" (SubhanaLlah)
 
"Puji-pujian Bagi Allah (Alhamdulillah)
 
"Tiada Tuhan Melainkan Allah (La ilaha iLlaLlah)
 
"Allah Maha Besar" (Allahu Akhbar).
 
Berkenaan dengan "Allahu Akbar" itu bukanlah bermaksud Allah itu lebih besar dari makhluk, kerana makhluk itu adalah penzhohiranNya sebagaimana cahaya memperlihatkan matahari. Tidaklah boleh dikatakan matahari itu lebih besar daripada cahayanya. Ianya bermaksud iaitu Kebesaran Allah itu tidak dpat disukat dan diukur dan melampaui jangkauan kesedaran; dan kita hanya boleh membentuk idea yang tidak sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.
Jika seorang kanak-kanak bertanya kepada kita untuk menerangkan keseronokkan mendapat pangkat yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti perasaan kanak-kanak itu tatkala seronok bermain bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-dua perkara itu termasuk dalam jenis keseronokkan. 
 
Oleh yanag demikian, kata-kata "Allahu Akhbar" itu bererti Kebesaran itu melampaui semua kuasa pengenalaan dan pengetahuan kita. Tidak sempurna pengenalan kita berkenaan Allah itu bukanlah sangka-sangka sahaja tetapi adalah dsertai oleh ibadat dan pengabadian kita.
Apabila seorang itu mati, maka ia bersangkut-paut dengan Allah sahaja. Jika kita terpaksa hidup dengan orang lain, kebahagiaan kita bergantung kepada darjah kemesraan kita terhadap orang itu. Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta kepada Allah itu dimaju dan dibangun melalui ibadat. Ibadat dan sentiasa mengenang Allah itu memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan mengekang kehendak-kehendak badan. Ini bukanlah bererti semua kehendak badan itu dihapuskan; kerana itu akan menyebabkan hapusnya bangsa manusia.
 
 Apa yang diperlukan ialah membatas atau mengehad kehendak-kehendak badan itu. Oleh itu seseorang itu bukanlah Hakim yang paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang Had itu. Maka ia lebih baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam perkara ini, dan hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyi Ilahi menentukan batas dan Had yang mesti diperhatikan dalam hal ini.
 
 Siapa yang melanggar batas atau had ini "Menzholimi dirinya sendiri" 
(Al-Baqarah; 231).
 
Walaupun Al-Qur'an telah memberi keterangan yang nyata, masih ada juga orang yang melanggar batas kerana kejahilan mereka tentang Allah dan kejahilan ini adalah kerana beberapa sebab; 
 
Pertama; ada golongan manusia yang kekal mencari Allah melalui pemerhatian, lalu mereka membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan sendirinya atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini seperti orang yang melihat surat yang tertulis dengan indahnya, dan mereka mengatakan surat itu sedia tertulis tanpa penulis atau telah sedia ada. Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan mereka. Setengah daripada orang-orang seperti ini adalah Ahli Fizik dan Ahli Kaji Bintang yang telah kita sebutkan di atas tadi.
 
Ada pula setengah orang keana kejahilan tentang keadaan sebenarnya Ruh itu. Mereka menyangkal adanya hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu diadil di sana. Mereka anggap diri mereka itu satu taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan dan akan hancur begitu sahaja. 
 
Ada juga orang yang percaya dengan Allah dan Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri;
"Allah itu Maha Agung dan tidak ada sangkut-paut dengan kita, walaupin kita sembah Dia atau tidak; tidak menjadi apa-apa kepadaNya".
 
Fikiran mereka ini seperti orang sakit yang disuruh makan ubat, tetapi ia berkata; "Apa untung atau ruginya doktor itu jika aku makan ubat atau tidak makan ubat?". Memang tidak terjadi apa-apa kepada doktor itu tetapi pesakit itulah yang akan bertambah teruk kerana degilnya. Badan yang sakit berakhir dengan mati. Maka Ruh atau Jiwa yang sakit berakhir dengan kesusahan dan kesiksaan di akhirat nanti, seperti
firman Allah Taala dalam Al-Qur'an yang bermaksud;
 
"Hanya mereka yang kembali kepada Allah dengan hati yang Salim itulah yang akan terselamat".
 
Jenis orang yang tidak beriman yang keempat ialah mereka yang berkata;
"Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah, jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik. Ini tidak mungkin kerana sifat-sifat ini telah memang ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih".
 
Mereka ini sebenarnya bodoh. Mereka jahil dengan hukum Syariat. Hukum Syariat tidak menyuruh manusia membuang sama sekali perasaan itu, tetapi hendaklah ianya dikontrol supaya tidak melanggar batas yang dibenarkan. Supaya dengan mengelakkan diri dari dosa besar, kita boleh memohon keampunan terhadap dosa-dosa kita yang kecil.
Sedangkan Rasulullah ada bersabda; 
 
"Saya ini manusia juga seperti kamu, dan marah juga seperti orang lain".
 
Firman Allah dalam Al-Qur'an; 
 
"Allah kasih kepada mereka yang menahan kemarahan mereka". 
(Al-Imran:146)
 
Ini bererti bukan mereka yang tidak ada langsung perasaan marah. 
 
Golongan yang kelima ialah mereka yang menekankan Kemurahan Tuahn sahaja tetapi mengenepikan KeadilanNya, lalu mereka berkata kepada diri mereka sendiri;
"Kami buat apa sahaja kerana Allah itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang".
Mereka tidak ingat meskipun Allah itu Pengasih dan Penyayang, namun beribu-ribu manusia mati kebuluran dan kerana penyakit. Meraka tahu, barangsiapa hendak hidup atau hendak kaya, atau hendak belajar, mestilah jangan hanya berkata; "Allah itu Kasih Sayang". tetapi perlulah ia berusaha sungguh-sungguh.
 Meskipun ada firman Allah dalam Al-Qur'an;
 
 "Tiap-tiap makhluk yang hidup itu Allah beri ia rezeki" 
(Surah Hud:06);
 tetapi hendaklah juga ingat Allah juga berfirman;
 
 "Manusia tidak akan mendapat apa-apa kecuali dengan berusaha".
 
Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu adlah dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka bercakap di mulut sahaja, bukan di hati. 
 
Golongan keenam pula menganggap mereka telah sampai ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi. Tetapi kalau anda layan mereka dengan kasar dan tidak hormat, anda akan dengar mereka merungut bertahun-tahun mengata anda; dan jika anda ambil makanan sesuap pun yang sepatutunya mereka perolehi dari mereka, seluruh alam ini kelihatan gelap dan sempit pada perasaan mereka. Jikalau pun mereka itu sebenarnya telah dapat menakluki hawa nafsu mereka, mereka tidak berhak menganggap dan mengatakan diri mereka itu tidak berdosa lagi, kerana Nabi Muhammad SAW. sendiri, manusia yang paling tinggi darjatnya, sentiasa mengaku salah dan memohon ampun kepada Allah. Setengah daripada Rasul-rasul itu sangat takut berbuat dosa sehingga daripada perkara-perkara yang halal pun mereka menghidarkan diri mereka. 
 
Adalah diriwayatkan, suatu hari Nabi Muhammad SAW. telah diberi sebiji Tamar. Beliau enggan memakannya kerena beliau tidak pasti sama ada Tamar itu ddapati secara halal atau tidak. Tetapi mereka menelan arak bergelen-gelen banyaknya dan berkata mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya menggeletar semasa menulis ini) pada hal sebutir Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum pasti sama ada halal atau tidak. Sesungguhnya mereka telah diheret dan disesatkan oleh Iblis. 
 
Aulia Allah yang sebenarnya mengetahui bahawa orang yang tidak menakluki hawa nafsunya tidak patut dipanggil "orang" dan orang Islam yang sebenarnya ialah mereka yang dengan rela hati tidak mahu melanggar Syariat sewenang-wenangnya. Mereka yang melanggar Syariat adalah sebenarnya dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena, tetapi adalah sewajarnya dengan pedang.
Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang berpura-pura tenggelam dalam lautan kehairanan atau tidak sedar, tetapi jika anda tanya mereka apakah yang mereka hairankan itu, mereka tidak tahu. Sepatutnya mereka disuruh menungkan kehairanan sebanyak-banyak yang mereka suka, tetapi di samping itu hendaklah ingat bahawa Allah Subhanahuwa Taala itu adalah Pencipta mereka dan mereka itu adalah hamba Allah sahaja.
 
DISALIN SEMULA DARI BLOG INI
Related Posts with Thumbnails

Followers